Sultan Hamengkubuwono VIII

Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 - Kraton Yogyakarta Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di

Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Groningen.

Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.

Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit.

Hamengkubuwono VII

Sri Sultan Hamengkubuwono VII (lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 18771820. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih. Karena berhasil mengangkat derajat kekayaan rakyat dan keraton.

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1939. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.

Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih[rujukan?].

Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih dari 80 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.

Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.

Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup.<~--, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah di asingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta.-->

Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono meninggal di keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.

Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Hamengkubuwono VII termasuk Sultan yang paling banyak memiliki istri, ia mempunyai 18 istri.

Hamengkubuwono VI

Hamengkubuwono VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuwono V sejak tahun 1855. Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gede (masjid keraton), Loji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya.Semasa pemerintahannya Hamengkubuwono VI justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya ditentang keras.

Semasa pemerintahan Hamengkubuwono VI mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan, namun bisa diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danuredjo V sebagai mahapatih Keraton Jogja. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun dijalin kuat. Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa, namun sultan dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena Keraton kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Belanda.

Pemerintahan Hamengkubuwono VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwono VII.


Hamengkubuwono V


Nama aslinya adalah Raden Mas Mustoyo, putra Hamengkubuwono IV yang lahir pada tanggal 20 Agustus 1821. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Tujuan dari Hamengkubuwono V sendiri dekat dengan Belanda adalah untuk melakukan taktik perang represif, dimana ia menekankan pada perang tanpa darah, sri sultan mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton dengan pemerintahan Belanda akan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda,sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.

Namun hal ini ditanggapi lain oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik sultan sendiri Raden Mas Ariojoyo (Hamengkubuwono VI nantinya). Mereka menganggap tindakan Sultan adalah tindakan pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwono V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan Sultan Raden mas Ariojoyo.

Keadaan semakin menguntungkan Raden Mas Ariojoyo setelah ia berhasil mempersunting putri kerajaan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan kerajaan Brunai. Kekuasaan Hamengkubuwono V semakin terpojok, apalagi setelah timbul konflik intern keraton yang melibatkan istri ke 5 sultan sendiri Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tentram selama masa pemerintahan beliau.

Beliau wafat pada tahun 1854, melalui suatu peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan Wereng saketi Tresno (wafat oleh yang dicinta), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke 5 yaitu Kanjeng Mas Hemawati, sampai sekarang tidak diketahui jelas apa sebab sang istri berani membunuh suaminya.

Tidak lama setelah Sultan meninggal, tiga bulan kemudian permaisuri sultan pun meninggal setelah jatuh sakit semenjak Sultan meninggal.

Hamengkubuwono IV

Saya sedikit sekali mendapatkan sumber informasi tentang beliau. Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.

Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.

Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.

Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai Hamengkubuwono V.

Hamengkubuwono III

Sri Sultan Hamengkubuwana III (lahir: Yogyakarta, 1769 – wafat: Yogyakarta, 1814) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 18101811 dan 18121814.

Riwayat Pemerintahan

Nama aslinya adalah Raden Mas Suroyo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.

Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Mas Suroyo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.

Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.

Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.

Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:

  • Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
  • Angkatan perang [[[Yogyakarta]] diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
  • Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.

Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 18251830.

Hamengkubuwono II


Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir: 1750 - wafat:1828) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828. Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh

Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan anaknya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.

Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan iparnya, yaitu Raden Rangga Prawiradireja bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda.

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Hamengkubuwono I

(saya link dari wikipedia)

Sri Sultan Hamengkubuwana I (Kartasura, 6 Agustus 1717Yogyakarta, 24 Maret 1792) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pangeran Mangkubumi bersama para pejabat anti VOC lainnya memilih bergabung dengan kaum pemberontak. Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu. Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Pada tahun 1745 Pangeran Mangkubumi meninggalkan kaum pemberontak dan bergabung di Keraton Surakarta.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 untuk kembali memberontak. Bahkan, Mas Said pun bergabung ke dalam barisannya.

Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit. Mas Said diangkat sebagai wakilnya, sekaligus menantu.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

Mendapat Pengakuan sebagai Sultan

Pada tahun 1752 terjadi perselisihan antara Mangkubumi dengan Mas Said. Hal ini segera dimanfaatkan VOC dengan berusaha menawarkan perdamaian terhadap Mangkubumi, karena pihaknya terancam bangkrut menghadapi sepak terjang raja pemberontak tersebut.

Mangkubumi akhirnya menerima tawaran VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi akhirnya mencapai kesepakatan di mana ia mau bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan alot dengan Hartingh akhirnya mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real. Mangkubumi juga mendapat bantuan VOC untuk bersama memerangi Mas Said.

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui kedaulatan Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.

Mendirikan Yogyakarta

Sejak saat itu wilayah kerajaan terbagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, sedangkan Hamengkubuwana I menjadi raja di Mataram.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota baru Mataram. Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru Mataram tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I memindahkan ibu kota Mataram dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta justru lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, daripada Kesultanan Mataram.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Cita-citanya merupakan kebalikan dari cita-cita Hamengkubuwana I, yaitu ingin menjadikan Surakarta sebagai penguasa Jawa. Pihak VOC sendiri juga resah menghadapi raja baru tersebut.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta. Pakubuwana IV akhirnya menyerah kalah.Ini adalah kerja sama paman-keponakan antara Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I .

Hamengkubuwana I mendesak VOC supaya putranya dijadikan raja Surakarta namun ditolak. Pakubuwana IV tetap diizinkan menjadi raja dengan menandatangani perjanjian kesepakatan bahwa Yogyakarta dan Surakarta adalah sederajat dan dilarang untuk saling menaklukkan.

Sebagai Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitekturnya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah menolak tegas keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006. [1]